Latest News

Sunday, January 30, 2011

The Deterministic Calculation Of Radiation Activity For Light Water Reactor On Severe Accident Postulation

THE DETERMINISTIC CALCULATION OF RADIATION ACTIVITY FOR LIGHT WATER REACTOR ON SEVERE ACCIDENT POSTULATION

Pande Made Udiyani
Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir-BATAN

ABSTRACT
THE DETERMINISTIC CALCULATION OF RADIATION ACTIVITY FOR LIGHT WATER REACTOR ON SEVERE ACCIDENT POSTULATION.
Operation of NPPs (Nuclear Power Plants) requires safety analysis especially for radiation activity generated at normal and accident condition. The aim of this research is to get condition for Exclusion Population Zone EPZ criterion at severe accident in study site selected. The accident sequences are postulated refers the happening of severe accident is loss of coolant accident, LOCA. Improvement of temperature results fuel melting and core structures materials. Disengaged calculation of radionuclide from pile platform covers assumption of diffraction of total releases from core, released fraction to containment and discharged to environment. Released fraction are take for three differ postulation on generic PWR source term which capacities 1000 MWE operating in study site in Ujung Watu. PC-COSYMA used to calculation of radioactive dispersion consequence in site area. Result of analysis obtained that postulation of accident, reactor type, safety system, and assumption of radionuclide released model from core influences level of radionuclide activity released to environment. The Level of radiology impact to environment and public is influenced condition of site such as wheater condition, distribution of resident, produce of agriculture at estimation district, and consumption model of public around NPPs site.

Keywords : Deterministic, LWR, Severe accident
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir ISSN : 0854 � 2910 Surakarta, 17 Oktober 2009

ABSTRAK
PERHITUNGAN DETERMINISTIK AKTIVITAS RADIASI REAKTOR DAYA AIR RINGAN DENGAN POSTULASI SEVERE ACCIDENT.
Pengoperasian PLTN memerlukan analisis keselamatan terutama untuk aktivitas radiasi yang ditimbulkan pada kondisi normal dan kecelakaan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan kondisi untuk kriteria zona daerah ekslusi EPZ pada kecelakaan parah (severe accident) di daerah tapak studi yang dipilih. Sekuensi kecelakaan yang dipostulasikan memicu terjadinya kecelakaan parah adalah kecelakaan kehilangan pendingin (loss of coolant accident, LOCA). Peningkatan temperatur mengakibatkan pelelehan bahan bakar dan material-material struktur teras. Perhitungan lepasnya radionuklida dari teras reaktor meliputi asumsi fraksi total lepasan dari teras, fraksi yang lepas ke pengungkung (containment) dan yang lepas ke lingkungan. Fraksi pelepasan di ambil untuk tiga postulasi yang berbeda dengan karakteristik sumber yang diambil dari reaktor generik PWR dengan kapasitas 1000 MWe yang beroperasi di daerah tapak studi Ujung Watu. Perhitungan konsekuensi dispersi radioaktif di lingkungan menggunakan PC-COSYMA. Hasil analisis diperoleh bahwa postulasi kecelakaan, jenis reaktor, sistem keselamatan, dan asumsi model pelepasan radionuklida dari teras reaktor mempengaruhi besarnya aktivitas radionuklida yang lepas ke lingkungan. Besarnya dampak radiologi terhadap lingkungan dan masyarakat dipengaruhi kondisi tapak seperti kondisi cuaca, distribusi penduduk, produksi pertanian pada daerah estimasi, dan model konsumsi masyarakat sekitar tapak PLTN.

Katakunci: deterministik, LWR, Severe accident

1. PENDAHULUAN

Pengoperasian PLTN memerlukan analisis keselamatan terutama untuk aktivitas radiasi yang ditimbulkan pada kondisi normal dan kecelakaan. Aktivitas radiasi yang dipantau adalah yang menimbulkan potensi penerimaan dosis radiasi yang signifikan terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan. Di lingkungan pemetaan penerimaan dosis dan konsekuensinya terbagi dalam zona yaitu: zona eksklusi EPZ (Exclusion Population Zone) dengan ketentuan maksimal bisa menerima dosis 0,25 Sv tercapai pada area radius 800 m [1]; zona berpenduduk jarang LPZ (Low Population Zone) pada radius 1-5 km dengan penerimaan dosis 0,25 Sv/tahun; dan zona berpenduduk padat pada area radius > 5 km, yang dibatasi dosis kolektif 20.000 orang Sv. Perhitungan untuk beberapa postulasi kondisi kecelakan dengan jenis reaktor berbeda telah dilakukan. [2,3] Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan kondisi untuk kriteria zona daerah ekslusi EPZ pada kecelakaan parah (severe accident) di daerah tapak studi yang dipilih.

Kondisi severe accident adalah kejadian yang merujuk adanya kegagalan teras reaktor yang signifikan di dalam suatu reaktor pembangkit daya yang menghasilkan sebagian atau seluruh bahan bakar di dalam teras meleleh. Kegagalan dalam antisipasi kejadian tersebut mengakibatkan lepasnya produk radioaktif dari instalasi reaktor daya, yang akan menimbulkan konsekuensi serius terhadap lingkungan.[4] Kecelakaan parah severe accident umumnya disebabkan adanya kegagalan pendinginan di dalam teras yang mengakibatkan terganggunya proses perpindahan panas di dalam bahan bakar di dalam teras.

Sekuensi kecelakaan yang dipostulasikan memicu terjadinya kecelakaan parah adalah kecelakaan kehilangan pendingin (loss of coolant accident, LOCA) yang diikuti dengan kegagalan sistem pendingin teras darurat (emergency core cooling system, ECCS). Jika teras reaktor dalam beberapa saat tidak terairi pendingin, maka akan terjadi peningkatan temperatur yang mengakibatkan pelelehan bahan bakar dan material-material struktur teras. Perhitungan lepasnya radionuklida dari teras reaktor meliputi asumsi fraksi total lepasan dari teras, fraksi yang lepas ke pengungkung (containment) dan yang lepas ke lingkungan. Fraksi pelepasan diambil untuk tiga postulasi [5,6] yang berbeda dengan karakteristik sumber yang diambil dai reaktor generik PWR dengan kapasitas 1000 MWe yang beroperasi di daerah tapak studi Ujung Watu.[7,8] Perhitungan konsekuensi dispersi radioaktif di lingkungan menggunakan PC-COSYMA.[9]

2. TEORI

Severe accident adalah kejadian yang merujuk adanya kegagalan teras reaktor yang signifikan di dalam suatu reaktor pembangkit daya yang menghasilkan sebagian atau seluruh bahan bakar di dalam teras meleleh. Kegagalan dalam antisipasi kejadian tersebut mengakibatkan lepasnya produk radioaktif dari instalasi PLTN, yang akan menimbulkan konsekuensi serius terhadap lingkungan.[4] Kecelakaan parah severe accident umumnya disebabkan adanya kegagalan pendinginan di dalam teras yang mengakibatkan terganggunya proses perpindahan panas di dalam bahan bakar di dalam teras. Jenis kejadian yang mendahului kegagalan teras.[4]

1). Kehilangan Pendingin - Loss of Coolant Accidents (LOCA sequences, dibagi dalam Large Breaks, Intermediate Breaks, dan Small Breaks). Kecelakaan ini dimulai dengan bocornya pipa di dalam sistem pendingin reaktor RCS (Reactor Coolant System) atau salah satu sirkuit penghubung (kecuali retaknya bejana, atau retaknya tabung sistem pembangkit uap). Bocornya pipa tersebut menyebabkan hilangnya pendingin dari RCS dan pengurangan tekanan dari sistem pendingin reaktor. Besarnya efek yang disebabkan dari kejadian ini bergantung pada kejadian awal, lokasi bocor, dan ukuran bocor.

2). Kehilangan pendingin yang terbentuk di luar bangunan pengungkung (V-LOCA). Kecelakaan ini terjadi kehilangan pendingin karena adanya kebocoran melalui perpipaan yang berada di luar bangunan pengungkung yang merupakan sirkuit penghubung dengan rangkaian RCS di dalam pengungkung. Walaupun kejadian ini di luar bangunan pengungkung, tetapi jika terjadi pelelehan teras maka akan mengakibatkan radioaktif lepas ke luar pengungkung dan tersebar langsung ke lingkungan.

3). Kebocoran di pipa sistem pendingin sekunder. Meliputi : Kebocoran di dalam perpipaan sistem umpan pembangkit uap FWLBs (Feed Water Line Breaks) dan kebocoran di jalur uap SLBs (Steam Line Breaks) di sistem sekunder pembangkit uap.

4). Retaknya tabung pembangkit uap, SGTR (Steam Generator Tube Ruptures). Kejadian awal tipe kecelakaan ini adalah adanya kebocoran besar atau retaknya satu atau lebih tabung pembangkit uap (kategori SGTR) atau bocornya perpipaan sekunder (air umpan atau uap) mengakibatkan retaknya satu atau beberapa tabung pembangkit uap (kombinasi SLB-SGTR).

5). Hilangnya sumber pendingin dan yang berkaitan dengan sumber pendingin (Complete Loss of Cooling Source or Associated System kategori H1). Kejadian awal yang memicu kecelakaan kategori ini adalah kehilangan sumber pendinginan terminal dari sistem pendingin. Kegagalan teras biasanya disebabkan melalui sekuensi H1 (kebocoran pengerat (seal) pompa RCS dan kegagalan menuju inventori air maintain).

6). Hilangnya seluruh air umpan yang menuju pembangkit uap (kategori H2 atau TGTA). Kejadian awal pada kecelakaan dengan kategori seperti ini adalah kegagalan peralatan yang mengakibatkan kombinasi kehilangan dari sistem air umpan utama dan sistem air umpan tambahan yang menuju ke pembangkit uap. Kegagalan teras biasanya disebabkan melalui sekuensi H2 (Kehilangan seluruh air umpan yang menuju pembangkit uap dan kegagalan fungsi feed-and-bleed).

7). Hilangnya seluruh dari daya elektrik (H3 class). Kecelakaan ini dimulai dengan kejadian kehilangan quasi-simultaneous dari hilangnya kedua sakelar kv darurat LHA dan LHB, atau hilangnya daya internal lalu daya eksternal yang merusakkan sumber daya listrik, yang pada gilirannya memutus semua daya listrik sistem keselamatan reaktor.

8). Kegagalan ATWS (Anticipated Transient Without Scram). Level dari kecelakaan ini meliputi berbagai situasi yang disertai dengan kegagalan dari pemadaman reaktor shutdown yang automatik yang deharusnya mengikuti satu peristiwa pemicu di dalam fasilitas.

Sunday, January 23, 2011

Source Term Analysis For Generic Reactor AEC 3568 MWth In Normal Operation Condition

SOURCE TERM ANALYSIS FOR GENERIC REACTOR AEC 3568 MWth IN NORMAL OPERATION CONDITION

Sri Kuntjoro
PTRKN � BATAN

ABSTRACT
SOURCE TERM ANALYSIS FOR GENERIC REACTOR AEC 3568 MWth IN NORMAL OPERATION CONDITION.
Source-term analysis for generic reactor AEC 3568 MWth has been done. Emerald Normal computer code has used to calculate source-term of those reactor. The approach used in Emerald computer code is similar to an analog simulation of real system. Each commponen or volume in the plant which contain radionuclides is represented by a subroutine in that program. First step calculation is to calculate radionuclide inventory in fuel and fuel rod gap. Next step is calculate activity in every volume of plant. Calculation results is the highest activity in fuel and fuel rod gap are Xe-133 (0,135E+09 Ci) and Xe-133 (0,136E+07 Ci) respectively. For other volume plant, the highest activity is in condenser off-gas venting with inserted I-131, I-132, I-133 and I-135. Activity each radionuclide are 0,484E-01Ci, 0,684E-02 Ci, 0,457E-01 Ci dan 0,121E-01 Ci. For Noble gas activity the highest value is place in auxiliary building venting with noble gas radionuclide are Kr-85 (0,290E+02 Ci) and Xe-133 (0,156E+04 Ci). Conclusion of that analysis is in normal operation the reactor plant produce radionuclide and will be disperse to population and environment near reactor side. Those result will be used for radionuclide dispersion analysis to population and environtment to have future image about radiological safety of reactor plant.

Keyword : radionuclide, sorce-term, Emerald computer code and generic reactor
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir ISSN : 0854 - 2910 Surakarta, 17 Oktober 2009

1. PENDAHULUAN

Kebutuhan energi nasional setiap tahun berambah. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang semakin besar serta pertumbuhan sektor industri di berbagai bidang. Berbagai energi tambahan telah dibangun untuk memenuhi adanya pertambahan kebutuhan energi tersebut. Mulai tahun ini direncanakan adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU batubara) sebesar 10.000 MW elektrik. Penambahan energi ini masih belum dapat memenuhi kekurangan energi yang ada, oleh sebab itu pemerintah merencanakan suatu program pemenuhan kebutuhan energi nasional. Dalam rencana tersebut disebutkan bahwa energi untuk energi alternatif sebanyak 17% dari penambahan kebutuhan energi. Salah satu energi alternatif adalah energi nuklir dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nulir (PLTN).

Energi nuklir dipilih karena memiliki berbagai kelebihan, antara lain tidak mencemari lingkungan, memiliki pola penggantian bahan bakar nuklir sekali dalam jangka waktu satu tahun, dengan demikian pengadaan bahan bakar nuklir dapat dirancang sedemikian rupa sehingga dalam proses pengadaannya tidak akan terkendala oleh cuaca. Selain dari itu jumlah kebutuhan bahan bakar sangat sedikit, sebagai perbandingan adalah energi yang dibangkitkan oleh 1 gram uranium (bahan bakar PLTN) sebanding dengan 1 ton batubara (bahan bakar PLTU). Dengan demikian maka PLTN merupakan pembangkit energi yang sangat potensial untuk menjadi pembangkit listrik alternatif.

Dengan adanya opsi PLTN sebagai pembangkit listrik alternatif, maka BATAN sebagai badan yang menangani masalah nuklir telah melakukan berbagai tahap penelitian agar PLTN dapat dibangun di Indonesia. Penelitian meliputi bidang studi tapak, lingkungan, dan teknologi tentang PLTN. Makalah ini disusun untuk menunjang penelitian dalam bidang teknologi nuklir, khususnya teknologi PLTN. Isi dari makalah ini adalah melakukan analisis suku sumber untuk reaktor jenerik 3586MW termal pada operasi normal. Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui aktivitas radionuklida yang terlepas ke udara pada saat reaktor beroperasi normal.

Perhitungan suku sumber untuk reaktor pada kondisi Normal sudah pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu1). Perbedaan perhitungan adalah pada peneliti terdahulu suku sumber yang dihasilkan merupakan hasil perkalian antara inventori reaktor dengan fraksi perlemahan setiap isotop pada setiap volume komponen dalam reaktor (sistem pendingin, sistem kontrorl volume, clean-up sistem, steam generator). Pada makalah ini perhitungan dilakukan menggunakan simulasi analog untuk setiap volume komponen dalam reaktor, sehingga perhitungan mendekati kondisi sesungguhnya dari kondisi operasi. Selanjutnya hasil yang diperoleh akan digunakan sebagai masukan untuk perhitungan lepasan radionuklida dari reaktor tersebut ke lingkungan sekitar menggunakan program PC-CREAM2). Dari perhitungan sebaran radionuklida ke lingkungan dapat diketahui barapa besar dosis yang akan diterima oleh masyarakat dengan adanya reaktor tersebut, sehingga dapat diketahui apakah pembangunan reaktor daya nuklir di suatu daerah selalu memberikan kondisi aman pada masyarakat sekitarnya.

Wednesday, January 19, 2011

The Effect Of Annealing Temperature On The Structural And Magnetic Properties Of DyFe6Sn6 Intermetallic Compound

THE EFFECT OF ANNEALING TEMPERATURE ON THE STRUCTURAL AND MAGNETIC PROPERTIES OF DyFe6Sn6 INTERMETALLIC COMPOUND
Suharyana
Jurusan Fisika, FMIPA - UNS, Surakarta

ABSTRACT
THE EFFECT OF ANNEALING TEMPERATURE ON THE STRUCTURAL AND MAGNETIC PROPERTIES OF DyFe6Sn6 INTERMETALIC COMPOUND.
We have prepared magnetic material with a composition of DyFe6Sn6 by employing argon arc technique. The ingot was divided into two pieces, namely A and B. The A ingot was annealed in vacuum quartz capsules at 1273 K for 10 days whereas the ingot B at 1073 K for 10 days.At the end of annealing, the capsules were quenched into water. The powder samples were characterized using an X-ray Cu-target SIEMENS D500 difractometer. The magnetic ordering of the compounds has been investigated using thermogravimetric analysis, 57Fe M�ssbauer spectroscopy and Differential Scanning Calorimeter. The x-ray diffraction patterns were analysed using the Rietfeld method employing the FULLPROF. It has been found that both samples possess an orthorhombic Cmcm type structure but with different lattice constants, namely a=8.914(8)�, b=18.733(8) � dan c=5.386(8) � and a=8,914(8)�, b=18,733(8) � dan c=5,386(8) �.for sample A and B respectively. The magnetic hyperfine field at the 57Fe nuclei is virtually the same for both samples, being ~20 T. Both samples order antiferromagnetically at room temperatures with a N�el temperature of ~570K.

Keyword: antiferromagnetic, rare-earth transition metal intermetallic compound, DyFe6Sn6.
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir ISSN : 0854 - 2910 Surakarta, 17 Oktober 2009

ABSTRAK
PENGARUH TEMPERATUR ANILING TERHADAP STRUKTUR KRISTAL DAN SIFAT MAGNETIK DyFe6Sn6: Telah dilakukan sintesa material magnetik dengan rumus kimia DyFe6Sn6 menggunakan teknik las lucutan listrik. Ingot hasil peleburan dibagi menjadi dua bagian, A dan B. Cuplikan A dianil dengan temperatur 1273K selama 10 hari sedangkan cuplikan B dianil dengan temperatur 1073K selama 10 hari di dalam kapsul hampa udara quartz. Di akhir aniling, kapsul quartz dibenamkan di dalam air. Serbuk cuplikan dikarakterisasi menggunakan difraktometer sinar-X SIEMENS D500,termogravimetri,spektroskopi 57Fe M�ssbauer dan Differential Scanning Calorymetri. Pola difraksi sinar-X dianalisis menggunakan metode Rietveld dengan perangkat lunak Fullprof. Hasil analisis memperlihatkan cuplikan A mengkristal dengan struktur orthorhombic Cmcm tipe TbFe6Sn6 dengan konstanta kisi a=8,914(8)�, b=18,733(8) � dan c=5,386(8) �. Cuplikan B memiliki struktur orthorhombic Cmcm tipe YFe6Sn6 dengan konstanta kisi a=8,914(8)�, b=18,733(8) � dan c=5,386(8) �. Medan superhalus magnetik pada inti 57Fe untuk kedua sampel nyaris sama, yaitu ~20T. Kedua sample memperlihatkan sifat antiferomagnetik dengan temperatur N�el ~570K.

Katakunci: antiferomagnetik, paduan logam tanah jarang dan logam transisi, DyFe6Sn6.

1. PENDAHULUAN

Senyawa logam tanah jarang (R) � logam transisi T dengan rumus kimia RFe6Sn6 hanya terbentuk apabila R = logam tanah jarang berat Y, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm dan Lu. Semua senyawa mengkristal dengan struktur orthorhombik, namun dengan grup ruang yang berbeda-beda. Grup ruang yang diadiopsi oleh senyawa dengan R=Y, Ho adalah Immm, R=Gd, Tb, Dy dan Er adalah Cmcm sedangkan untuk R=Tm dan Lu adalah P6/mmm [1,2,3,4]. Namun, perlu dituliskan di sini terdapat laporan bahwa senyawa DyFe6Sn6 memiliki grup ruang Ammm [2].

Walaupun senyawa kelompok RFe6Sn6 pertama kali disintesa tahun 1986 [1], tetapi sifat-sifat magnetiknya baru diketahui ketika Rao dan Coey [3] mempublikasikan hasil penelitian mereka yaitu spektroskopi 57Fe M�ssbauer. Mereka berpendapat bahwa semua senyawa RFe6Sn6 bersifat antiferomagnetik pada temperatur kamar. Perlu dicatat bahwa mereka tidak melaporkan besarnya temperatur N�el (TN). Informasi sifat magnetik senyawa kelompok ini semakin lengkap setelah kelompok riset material magnetik di School of Physics The University of New South Wales melaporkan sifat magnetic menggunakan metode yang beragam, yaitu spektroskopi 57Fe dan 119Sn M�ssbauer, difraksi netron dan suseptibilitas [4].

Sebagaimana dituliskan di awal, terdapat dua pendapat mengenai struktur kristal dan grup ruang yang diadopsi oleh DyFe6Sn6. Untuk melengkapi informasi sifat magnetiknya, pada makalah ini akan dilaporkan struktur kristal serta sifat magnetik paduan ini yang disintesa dengan temperatur anil yang berbeda.

2. BAHAN DAN METODE

Dua buah cuplikan paduan DyFe6Sn6 dibuat dengan cara melebur Dy, Fe dan Sn dengan kadar kemurnian > 99,5% menggunakan teknik las lucutan di dalam atmosfir gas argon [4]. Proses pembuatan cuplikan adalah sebagai berikut. Massa total masing-masing paduan untuk berbagai keperluan eksperimen diperkirakan sebanyak 3 gram. Untuk mengatisipasi hilangnya logam Dy akibat penguapan selama proses peleburan, ditambahkan 2% dari massanya. Untuk memastikan tidak ada unsur yang hilang, ingot hasil peleburan ditimbang dan dibandingkan dengan massa total sebelum peleburan.

Semua komponen paduan diletakkan di atas dasaran tembaga yang berpendingin air, di sebelahnya diletakkan titanium kemudian ditutup dengan sungkup. Ruang peleburan didalam sungkup dicuci dengan cara mengeluarkan udara yang ada di dalam sungkup. Setelah tekanan udara di dalam sungkup sekitar 104Pa, pemvakuman dihentikan dan sungkup diisi dengan gas Ar sangat murni sampai tekanannya sedikit di bawah tekanan udara luar sungkup, setelah itu divakumkan lagi. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali, dan di akhir pencucian sungkup diisi dengan gas argon dengan tekanan 102Pa.

Arus listrik las lucutan diatur sebesar 75A. Mula-mula titanium dilelehkan. Jika warna permukaan titanium berubah menjadi biru, berarti di dalam sungkum terdapat oksigen dan pembuatan cuplikan tidak boleh diteruskan. Pembuatan cuplikan hanya boleh dilakukan jika atmosfir di dalam sungkup bebas dari oksigen. Hal ini dapat diketahui dari permukaan titanium setelah dilelehkan tetap bening mengkilat

Setelah yakin di gas di dalam sungkup bebas dari oksigen, cuplikan dileburkan sampai semua komponen meleleh dan menyatu. Keadaan meleleh dibiarkan selama sekitar 30 detik, setelah itu mesin las dimatikan. Agar diperoleh paduan yang homogen, setiap selesai peleburan, ingot dibalik kemudian dilakukan peleburan lagi. Proses pembalikan-peleburan kembali ini diulang 5 kali.

Ingot hasil peleburan kemudian dibagi dua, untuk keperluan identifikasi masing � masing diberi label A dan B, dimasukkan ke dalam kapsul quartz kemudian divakum dan dianil selama 10 hari. Cuplikan A dianil pada temperatur 1273 K dan cuplikan B dianil pada temperatur 1073 K. Di akhir aniling, kapsul quartz panas dicelupkan ke dalam air. Ingot kemudian digerus menggunakan mortar dan pestle. Untuk menghindari oksidasi, penggerusan dilakukan di dalam aceton.

Karakterisasi struktur kristal dilakukan dengan teknik difraksi sinar X dengan sumber Cu menggunakan difraktometer SIEMENS D500 tanpa monokromator. Kecepatan goniometer diatur pada 1�/menit dengan jangkah 0,05� dengan rentang 2� dari 25 sampai 60�. Difraktometer dikalibrasi menggunakan serbuk silikon. Pola difraksi sinar-X dianalisis menggunakan metode Rietveld dengan perangkat lunak FULLPROF [5].

Eksperimen 57Fe M�ssbauer dilakukan pada temperatur 12K, 300K dan 700 K menggunakan spektrometer jenis transmisi dengan sumber radioaktif 57Co di dalam matriks Rh. Cuplikan, sekitar 60 mg, dicampur dengan serbuk halus boron nitride dan diletakkan di antara dua keping plastik. Sumbu skala kecepatan dikalibrasi menggunakan �-Fe.

Analisa thermogravimetric (TGA) dilakukan menggunakan Perkin-Elmer TGA-7 dengan medan magnet lemah untuk mengetahui keberadaan fasa fero atau ferimagnetik di dalam cuplikan.

Pengukuran temperatur N�el dilakukan menggunakan peralatan Differential Scanning Calorimetry (DSC) Perkin-Elmer DSC-7. Pengukuran dilakukan dari temperatur kamar hingga 600K. Skala temperatur kedua sistem dikalibrasi menggunakan alumel dan nikel.

Pembuatan cuplikan serta karakterisasi cuplikan dilakukan menggunakan fasilitas yang terdapat di Magnetic Materials Laboratory, School of Physics The University of New South Wales.

Friday, January 14, 2011

Corrosion Current Fluctuation Analysis During Passive Film Breakdown And Repassivation By Chloride Ion

CORROSION CURRENT FLUCTUATION ANALYSIS DURING PASSIVE FILM BREAKDOWN AND REPASSIVATION BY CHLORIDE ION

Febrianto
PTRKN - BATAN, Puspiptek, Serpong, Tangerang, Indonesia

ABSTRACT
CORROSION CURRENT FLUCTUATION ANALYSIS DURING PASSIVE FILM BREAKDOWN AND REPASSIVATION BY CHLORIDE ION.
Corrosion current fluctuation becomes an important method in studying breakdown process and repassivation of passive film on metal and structure material. Metal or material that has passive film on its surface undergo corrosion current fluctuation during breakdown and repassivation of passive film. Corrosion current fluctuation during breakdown and repassivation of passive film in with and without chloride containing solution was studied. It was found that corrosion current fluctuation increased sharply during breakdown of passive film and reduced sharply during repassivation. Corrosion current fluctuation was not detected during passivation time and in the beginning of chloride ion addition. Using corrosion current fluctuation analysis can be predicted weather pitting corrosion occur or not in certain condition and when it occurs. The experiment has been done through electrochemistry method using potentiostat.

Key words : repassivation, passive film, corrosion current fluctuation, pitting corrosion
Proceeding Seminar Nasional Ke-15 "TEKNOLOGI DAN KESELAMATAN PLTN SERTA FASILITAS NUKLIR", Surakarta, 17 Oktober 2009

The Improvement Of Neuro-Expert Method For Anomaly Detection In Nuclear Reactor

THE IMPROVEMENT OF NEURO-EXPERT METHOD FOR ANOMALY DETECTION IN NUCLEAR REACTOR

Muhammad Subekti
PTRKN - BATAN, Puspiptek, Serpong Tangerang, Indonesia

ABSTRACT

The improvement of Neuro-Expert Method have been done for anomaly detection in nuclear reactor by utilization of Recurrent Neural Network (RNN). The development of Multilayer Perceptron (MLP) for similar objective was done in the previous research. Due to the monitoring system needs of redundancy to assure the reactor safety, the Neuro-Expert have been improved in this research by utilization of RNN as added method. Furthermore, the expert system is coupled to MLP and RNN by using specific parameters which depend on the training characteristic. The offline demonstation of MLP and RNN were carry out for PWR Borselle, simulator of PWR Surry-1, RSG-GAS reactor, and High Temperature Engineering Tested Reactor (HTTR). The learning results showed unsignificant different of maximum error of 0.0061 for MLP and 0.0049 for Jordan typed RNN. In the contrary, Elman typed RNN gave unreliable maximum error of 0.0130.

Keywords: improvement, Neuro-Expert, multilayer perceptron, Recurrent Neural Network, anomaly detection.
Proceeding Seminar Nasional Ke-15 "TEKNOLOGI DAN KESELAMATAN PLTN SERTA FASILITAS NUKLIR", Surakarta, 17 Oktober 2009

Monday, January 3, 2011

Analysis Of Main Steam Line Break Accident Inside Containment On PWR

ANALYSIS OF MAIN STEAM LINE BREAK ACCIDENT INSIDE CONTAINMENT ON PWR

Andi Sofrany Ekariansyah
PTRKN-BATAN, Puspiptek Serpong, Tangerang

ABSTRACT
ANALYSIS OF MAIN STEAM LINE BREAK ACCIDENT INSIDE CONTAINMENT ON PWR.
An analysis of main steam line break (MSLB) accident on PWR using RELAP/SCDAP/Mod3.4 code has been done. Accident analysis is important to be performed because it is contained in the Safety Analysis Report (SAR) before the nuclear power plant construction for assessing the safety of reactor facility. The purposes of analysis are to know the accident sequence characteristics and any parameter changes important for safety. A typical Japanese PWR with 1160 MWe output is used as reference. One main steam pipe located at one loop inside the containment is assumed to experience a double-ended steam pipe break. Analysis is performed by assuming all MSIVs are failed to close. The results show that the core cool down only causes a little increase of core reactivity. The contraction of primary system also causes a decrease of pressurizer water level down to the upper dome of reactor vessel and voids at core channel, which is disappeared along with the safety injection from ECCS. Beside that, there is an increase of containment pressure up to the design pressure, which shown the importance of containment cooling system. Therefore, the effect of main steam line break is more significant on the safety of containment.

Keywords: Main steam line break, inside containment, RELAP5/SCDAP/Mod3.4
Proceeding Seminar Nasional Ke-15 "TEKNOLOGI DAN KESELAMATAN PLTN SERTA FASILITAS NUKLIR", Surakarta, 17 Oktober 2009

Tags